KETHEK OGLENG PACITAN

Gambar.  Latihan di Depan Sanggar Condro Wanoro
Pada mulanya Bapak Sutiman merasakan sesuatu yang berat karena banyaknya kendala datang silih berganti mempengaruhi dirinya agar mengurungkan langkah yang telah direncanakan, tetapi karena keteguhan niat yang telah tertanam dalam di sanubari maka seberat apapun risikonya harus diperjuangkan. Pandangan minor akrab dengan beliau. Selain itu beliau juga berjuang melawan rasa takut upayanya tidak berhasil, malu dianggap stres saat berlatih, dan masih harus berjuang untuk mendapatkan dukungan dari paguyuban kerawitan yang pernah menolak. Padahal hanya ada satu paguyuban di dusun Banaran yang sejak awal menjadi satu-satunya tumpuan harapan. Jika penolakan itu tidak ditindak lanjuti dengan upaya pendekatan dan pengorbanan mental, tentu yang terjadi hanyalah putus asa yang berakhir kegagalan. Namun tidak demikian yang dilakukan oleh Bapak Sutiman, ia  beranggapan justru dari penolakaan itu diterimanya sebagai cambuk untuk lebih semangat berjuang mencari kelengkapan dari berbagai macam hal dan banyaknya kekurangan wawasan yang harus dipenuhi.
      Lebih dari dua bulan sejak permintaanya bergabung ditolak, Bapak Sutiman kemudian mencoba lagi menemui pimpinan paguyuban dengan bekal dapat memenuhi syarat yang kurang. Sebagai kesiapan untuk melakukan itu, ia berusaha bertutur kata lebih baik dan serius agar dapat meyakinkan kepada sesepuh paguyuban Bapak Kromorejo. Ia meyakinkan pada pimpinan kerawitan bahwa gerak tari idenya itu nanti akan dapat menjadi sebuah seni yang benar benar dikagumi masyarakat. “Saya mohon dengan sangat hormat, tolong penuhi keinginan saya, kasiani saya telah banyak waktu saya gunakan untuk menekuni latihan ini apa harus berakhir sia-sia jika terpaksa tidakmau membantu, karena keinginan ini adalah harapan hidup saya”.
       Demikian itu ungkapan terakhir Sutiman agar permintaanya dipenuhi. Tampaknya sebaris kalimat Bapak Sutiman itu sangat mujarab dengan bukti permintaanya dikabulkan juga dengan syarat tidak ada niatan Bapak Sutiman untuk mendeskreditkan nama baik paguyuban. Tentu saja Bapak Sutiman sangat setuju dan senang mendengar kesanggupan kerjasama antara kedua belah pihak. Bapak Sutiman memahami terjalinnya kerjasama tersebut sebagai bukti usahanya telah naik setingkat memasuki ambang pintu proses kedua yaitu berlatih perpaduan tari dan iringan musik gamelan.
      Pada hari pertama berlatih, suasananya sangat menegangkan lantaran gabungan dua belah pihak masing masing memiliki keinginan yang berbeda untuk menciptakan irama musik. Bapak Sutiman sendiri sangat berat atas masukan pimpinan paguyuban karena jika harus mengikuti pendapat pimpinan paguyuban itu maka semua yang telah dirancang akan menjadi tidak jelas. Kondisi tersebut memaksa Bapak Sutiman harus rela dibentak seraya terus memberi penjelasan tentang arah tujuannya, yakni tujuan yang sesuai sebagaimana telah dipersiapkan sebelumnya dalam waktu yang cukup lama. Pada akhirnya pihak paguyuban mengalah dan mengikuti keinginan Bapak Sutiman. Walaupun dengan konsekuensi yaga paguyuban kerawitan tidak mudah dalam mewujud not gending untuk menyempurnakan irama iringan seni baru yang belum pernah ada ini. Namun karena sebuah tuntutan, setelah dilakukan dengan serius dan kekompakan, hanya dua kali latihan meracik irama gamelan sudah mulai terasa enak didengar dan dirasakan adanya nilai-nilai seni yang dapat menarik perhatian masyarakat.
Sumber.  Sukisno, dkk.  2018. Seni Kethek Ogleng Pacitan: Warisan Leluhur dan Segenap Dimensinya.   
               Azyan. Yogyakarta. hlaman 10-11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

32 HARI KETHEK OGLENG DI ISSEH

JALAN TAK SELAMANYA LURUS DAN MULUS